Rasanya Seperti Ditabrak Tronton
Oleh: Farma Dinata
Tidak ada kehilangan paling besar dalam hidup selain ditinggal mati anak. Hari ke-8 pasca meninggalnya putra kami Fabyan Devara, Jumat ketemu Jumat sejak 24 April lalu.
Suasana rumah kami berbeda dari yang lalu lalu. Tidak ada lagi Fabyan. Sementara putra kedua kami, Keyzar Devario juga tidak ada, karena sejak Fabyan dirawat sudah kami titipkan di rumah kakak.
Tinggal saya dan Indah yang terpenjara dalam karantina. Ya, sepulang dari pemakaman Byan, kami dihubungi via video call oleh satgas covid bentukan RT di lingkungan kami. Dengan tegas, ketua satgas memberitahu kalau kami berada dalam pemantauan mereka.
Tidak ada lagi orang yang dibolehkan datang ke rumah. Semua kebutuhan akan dipenuhi. Kalau saya perlu apapun semisal gas, air mineral, sembako dll, diminta menghubungi, nanti akan ada warga atau satpam yang memasok.
Bukan cuma saya dan Indah, bahkan uang kami pun dikarantina. Jika titip beli sesuatu, kudu transfer ke rekening yang sudah ditentukan.
Alhamdulillah, sejauh ini semua kebutuhan terpenuhi. Banyak tetangga peduli, karena mereka juga ikut merasa terpukul dan kehilangan Fabyan si anak soleh, yang sehari-hari selalu mereka lihat bolak balik ke masjid sholat berjamaah.
Makanan untuk berbuka puasa dan sahur, selalu melimpah di meja makan. Kami terharu dengan kebaikan mereka.
Hingga hari ke-8, belum ada kabar hasil test swab Fabyan, positif atau negatif covid-19. Tapi ya sudahlah, saya dan Indah sudah tak peduli lagi, anak kami sudah tiada dan insya Allah syahid, husnul khotimah.
Tetapi saat seperti ini, semestinya kami butuh dukungan seperti laiknya keluarga yang sedang berduka. Kami butuh bertemu keluarga, kerabat, sekadar menangis bersama atau mungkin berpelukan untuk meredam pilu.
Tapi ya mau bagaimana lagi, situasi sedang seperti ini, saya dan Indah ODP. Jangankan dengan keluarga atau kerabat, kami berdua saja bahkan tak bisa lagi berpelukan. Sudah 8 hari ini kami melakukan physical distancing di dalam rumah. Tidur berpisah, pakai masker, sampai pisah peralatan makan dan minum.
Kadang kami menangis bersama tanpa bisa saling dekap saat mengenang Fabyan. Yang bisa kami lakukan adalah sholat berdua sambil bercucuran air mata memohon Allah menguatkan iman kami.
Kami berharap segera datang petugas kesehatan, siapa pun, dari pihak mana pun untuk melakukan tes pada kami, entah itu rapid, swab atau apa pun untuk mengetahui kami berdua positif atau negatif covid-19.
Kalau positif, kami siap dikarantina. Jangankan di rumah, di wisma atlet pun kami siap. Bahkan kalau perlu ke Pulau Galang sana. Karena kami juga tak mau mencelakakan anak kedua kami Keyzar. Kami juga tidak mau menulari adik, kakak, ibu, keponakan dan semua orang yang kami cintai. Kami juga tak rela menjadi momok menakutkan buat warga sekitar.
Tetapi seandainya hasil tes negatif, kami juga perlu segera menata kembali hidup. Saya dan Indah rindu setengah mati bisa memeluk Keyzar. Kami harus membetulkan internet yang mati, AC yang rusak, karena hingga kini kami dilarang mendatangkan teknisi ke rumah gegara status ODP yang berlarut larut ini.
Kehilangan Fabyan saja rasanya sudah seperti ditabrak tronton. Kami juga masih harus 'dipenjara' selama 14 hari demi menyelamatkan nyawa banyak orang.
Ya Allah ya Rabb, Tuhannya manusia, kuatkan iman kami, semoga kami istiqomah biar kelak bisa bekumpul lagi bersama Fabyan dalam kehidupan kekal di surga yang telah Engkau janjikan. []
Advertisement
EmoticonEmoticon