Stimulus Covid-19 Memprihatinkan, Realokasi Anggaran Mempercepat Krisis Ekonomi
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Penanganan ekonomi terkait wabah Covid-19 seharusnya bisa lebih baik. Paket stimulus ekonomi yang diumumkan sejauh ini sangat tidak memadai untuk melawan dampak negatif Covid-19. Terkesan pemerintah kurang mampu membaca dan mengantisipasi wabah ini. Kebijakan yang diambil terkotak-kotak, alias piecemeal.
Ketika wabah virus Corona mulai merebak, pemerintah langsung reaktif memberi paket stimulus yang kemudian dinamakan jilid pertama. Paket stimulus ini memberi insentif sektor pariwisata berupa diskon tiket pesawat bagi wisatawan asing dan domestik, dan pembebasan pajak hotel dan restoran. Bahkan sampai menggunakan jasa influencer untuk promosi paket ini. Katanya, jumlah stimulus ini Rp 10,3 triliun. Tentu saja, stimulus ini tidak efektif, karena akhirnya penerbangan antar negara dihentikan untuk mengurangi penyebaran wabah dari luar negeri. Realisasi stimulus ini pasti tidak banyak arti untuk meningkatkan ekonomi.
Paket stimulus jilid kedua pada intinya memberi insentif pajak penghasilan (PPh) pribadi (pasal 21) untuk industri tertentu, PPh badan (pasal 25) dan PPh impor (pasal 22). Insentif ini akan diberikan selama 6 bulan terhitung April hingga September 2020. Melihat perkembangan Covid-19 hingga saat ini, sepertinya banyak perusahaan akan mengalami rugi. Sehingga bantuan PPh Badan tidak banyak arti. Stimulus “subsidi” pajak ini katanya akan membebani APBN Rp 22,9 triliun. Selain insentif ini belum mulai, sehingga tidak memberi dampak apapun terhadap ekonomi, angka insentif juga patut dipertanyakan.
Paket stimulus jilid pertama dan kedua fokus menjaga pertumbuhan ekonomi agar tidak anjlok. Meskipun ternyata tidak efektif. Bahkan stimulus jilid kedua belum dimulai.
Di lain sisi, perkembangan wabah Covid-19 semakin memburuk.Tingkat terinfeksi Covid-19 meningkat tajam. Jumlah meninggal sangat tinggi. Sedangkan jumlah sembuh sangat rendah. Salah satu sebab utamanya karena fasilitas kesehatan sangat tidak memadai. Ruang isolasi dan jumlah kamar sangat minim. Alat pelindung diri, dalam arti luas, untuk melindungi dokter, perawat dan tenaga nonmedis lainnya memprihatinkan. Sebab utamanya, pemerintah tidak ada dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan terpaksa, pemerintah melakukan realokasi mata anggaran APBN, dari dana pembangunan menjadi dana penanggulangan Covid-19. Bahkan, pengadaan barang yang masih dalam proses pun harus dibatalkan.
Realokasi mata anggaran tidak masuk definisi stimulus. Karena hanya realokasi. Stimulus (fiskal) intinya meningkatkan belanja negara atau mengurangi penerimaan negara, untuk meningkatkan permintaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Stimulus (fiskal) intinya memperlebar defisit APBN. Jadi realokasi mata anggaran bukan stimulus.
Sebaliknya, pemangkasan anggaran pembangunan (dan dana desa) akan membuat pertumbuhan ekonomi turun. Dampak negatifnya cukup besar. Bisa mempercepat krisis ekonomi. Perusahaan di sektor pembangunan akan mati karena anggarannya dihentikan. PHK dan pengangguran di daerah akan meningkat. Akhirnya mereka harus di-support dan diberi bantuan juga oleh pemerintah.
Dengan mengatakan seperti ini, bukan berarti peningkatan anggaran kesehatan tidak perlu. Sebaliknya, anggaran kesehatan harus dapat ditingkatkan sedemikian rupa besarnya agar dapat menanggulangi wabah Covid-19 secara efektif. Dan, tambahan anggaran kesehatan ini bukan diambil dari anggaran lainnya (realokasi). Tetapi, tambahan anggaran kesehatan ini harus bersumber dari tambahan defisit APBN, dan besarnya harus siginifikan untuk memerangi Covid-19. Pemerintah harus berani mengatakan tambahan anggaran Covid-19 misalnya 1,5 persen dari PDB, atau sekitar Rp 250 triliun. Bahkan lebih kalau perlu. Whatever it takes.
Dananya diambil dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang masih nganggur di dompet pemerintah, yang mencapai lebih dari Rp 270 triliun per akhir Februari 2020. Bayangkan kekuatan yang dimiliki Rp 250 triliun untuk memerangi Covid-19. Pasti jauh lebih efektif dari yang sekarang ini. Dan anggaran pembangunan tetap bisa jalan, sekaligus menjaga pendapatan perusahaan dan pekerja di sektor tersebut di daerah. Dan pemerintah juga tidak perlu menambah utang karena dananya sudah ada.
Selanjutnya, stimulus harus menyasar untuk membantu kemanusiaan, membantu mereka yang kehilangan penghasilan, dan membantu semua masyarakat yang terdampak wabah Covid-19. Dan stimulus juga harus menyasar pelaku usaha, termasuk usaha mandiri dan usaha mikro. Pemerintah harus menjamin kecukupan likuiditas pelaku usaha. Tentu bukan memberi pinjaman langsung ke pelaku usaha, tetapi melalui sektor keuangan, bank dan nonbank. Bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk pemenuhan likuiditasnya.
Stimulus ini harus segera diumumkan dan dijalankan. Jangan terlalu lama menghitungnya. Perhitungan stimulus harus dilakukan kebalikan dari penyusunan APBN yang berdasarkan aktivitas dan program. Dalam kondisi darurat, tentu yang dimaksud bukan darurat sipil, stimulus APBN dianggarkan secara global. Makanya negara lain bisa mengumumkan stimulus sangat cepat. Dalam waktu singkat, Amerika mengumumkan stimulus 2,2 triliun dolar AS (sekitar Rp 35.200 triliun). Malaysia memberi stimulus 250 miliar ringgit (sekitar Rp 937 triliun). Tetapi Indonesia sangat lambat karena harus menghitung secara rinci: program A sekian, program B sekian, program C sekian. Ini kelamaan. Keburu wabah menyebar ke seluruh Indonesia, dan keburu rakyat kelaparan.
Umumkan saja, Indonesia akan memberi stimulus Covid-19 tahap pertama sebesar 850 triliun, sekitar 5 persen APBN. Dengan begitu, rakyat akan merasa aman dan merasa terjamin. Pemerintah tinggal menyusun apa yang bisa diberikan kepada masyarakat dan dunia usaha dengan anggaran sebesar itu.
Semoga pemerintah bisa bekerja dan memberi kepastian secepatnya. Masyarakat menunggu. []
Advertisement
EmoticonEmoticon