Jakarta - Diantara tokoh mubaligh dan penulis produktif dari Persatuan Islam (Persis) yang sangat terkenal di Batavia adalah KH. Muhammad Ali Al-Hamidy. Di buku-buku karyanya dan tulisan-tulisannya yang tersebar di media massa, namanya seringkali ditulis: Md. Ali Al-Hamidy. Di kalangan ulama Betawi, ia sering disebut dengan Ali Alhamidy Matraman, karena ia tinggal di daerah Matraman Dalam II, No.56, Batavia.
Seperti ditulis dalam Ensiklopedi Jakarta, KH. Md. Ali Al-Hamidy lahir di Kampung Kwitang, Batavia, pada 20 September 1909. Ia menghabiskan masa kecil di Kwitang, sebelum akhirnya tinggal di Matraman dan banyak melakukan dakwah di Tanjung Priok dan wilayah Pekojan, Jakarta Barat. Ketika masa kecil itulah, ia banyak menimba ilmu di madrasah Unwanul Falah yang dikelola Habib Ali Al-Habsyi atau yang akrab dipanggil Habib Kwitang.
Setelah itu, KH.Md Ali Al-Hamidy justru banyak belajar pada Syaikh Ahmad As-Soorkati, seorang guru asal negeri Sudan yang didatangkan oleh organisasi Djami’atoel Kheir untuk mengajar di sekolah milik mereka yang terletak di Kampung Arab Pekojan, Batavia. Sekolah Djami’atoel Kheir sendiri sudah ada sejak tahun 1901 dan kemudian mendapatkan pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda (rechtpersoon) pada tahun 1905. Dari Pekojan, Djami’atoel Kheir kemudian membuka cabang di Tanah Abang.
KH. Md Ali Al-Hamidy sering bertemu dan berguru pada Syaikh Soorkati yang saat itu menjadi pengajar di Madrasah Djami’atoel Kheir. Dari pertemuan itulah kemudian ada perubahan dalam pemikiran KH. Ali Al-Hamidy. Ada yang menyebut, atas jasa Syaikh Soorkati itulah pemikiran Al-Hamidy “dimudakan”. Sejak itu pula, KH. Ali Al-Hamidy di kenal di Batavia sebagai “Mubaligh Kaum Muda”.
KH. Md. Ali Al-Hamidy yang saat itu sudah dikenal sebagai “Mubaligh Kaum Muda” kemudian banyak berdakwah di Tanjung Priok. Bersama pamannya, Tuan Abdurrahman, ia berdakwah dengan membuka majelis dan mendirikan madrasah. Di rumah pamannya yang terletak di Tanjung Priok, Gang 15, pada tahun 1931 dibuatkan majelis taklim dan madrasah. Nama madrasahnya, At-Tarbiyatul Islamiyah (Pendidikan Islam).
Pada tahun 1930-an, di daerah Tanjung Priok sudah marak dakwah yang bercorak pembaruan, sebagaimana sebutan para peneliti. Sementara masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan “dakwah kaum muda” atau “dakwah kaum Wahabi.” Persoalan yang sering menjadi polemik pun berkisar pada masalah-masalah khilafiyah. Bedanya, saat itu, persoalan-persoalan tersebut diselesaikan dengan jalan dialog, bertukar pikiran.
Pada sekitar awal tahun 1930-an inilah, A. Hassan sebagai guru Persatuan Islam (Persis) yang sudah cukup dikenal, datang dari Bandung untuk memenuhi undangan dakwah masyarakat Tanjung Priok, Gang 15. Dari sinilah kedekatan KH.Md. Ali Al-Hamidy mulai terbangun.
Setiap ke Batavia, tak jarang A. Hassan menginap di tempat KH. Ali Al-Hamidy di Jalan Matraman Dalam II. Karena kedekatan A. Hassan dan KH. Ali Al-Hamidy inilah kemudian terbentuklah Persatuan Islam cabang Tanjung Priok, dengan ketuanya KH. Muhammad Thahary, Sekertaris Mohd. Saied, dan bendahara Ny. Unah St.Denai. KH. Ali Alhamidy diposisikan sebagai penasehat atau guru utama Persis Tanjung Priok.
Pada saat terjadi perdebatan antara A. Hassan dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah di Gang Paseban, Batavia, pada tahun 1934, KH. Ali Al-Hamidy bersama para muridnya datang menghadiri dialog tersebut dari Tanjung Priok dengan menggunakan delman. Peristiwa itu sendiri dikenal sebagai perdebatan terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Karena keahliannya dalam menulis kaligrafi Arab, KH. Ali Al-Hamidy lalu diminta oleh A. Hassan untuk datang ke Bandung dan menjadi penulis khat tetap Majalah Al-Lisaan, yang terletak di Jalan Lengkong 90. Sejak itulah, pada tahun 1937, dari mulai awal lahirnya majalah itu, KH. Ali Al-Hamidy yang saat itu baru menikah, tinggal di Bandung. Karena keahliannya dalam masalah-masalah agama, ia kemudian diminta untuk memegang rubrik An-Nisaa di majalah itu dan mengajar di Pesantren Persis Bandung.
Saat A. Hassan menulis Tafsir Al-Furqan, At-Tauhid, dan Panduan Membaca Huruf Hijaiyyah, KH. Ali Alhamidy-lah yang menjadi penulis khath karya-karya A. Hassan tersebut. Maka sejak saat itulah, karya kaligrafi Al-Hamidy banyak tersebar dimana-mana. Ia juga menjadi penulis khat Tafisr Al-Qur’anul Kariem karya Kasim Bakri yang terkenal pada tahun 1960. Tulisan khath dalam buku “Sedjarah Masjid” karya Aboebakar Atjeh juga buah tangan dari Ali Al-Hamidy. Bahkan, salah seorang murid yang belajar khat padanya, R. Ganda, alumnus Pesantren Persis,pernah menjadi penulis khat dalam terjemah Al-Qur’an Kitab Mulia yang ditulis oleh HB. Jassin. Ali Alhamidy juga dikenal sebagai ulama pelestari tulisan Melayu dalam aksara Arab.
Ketika A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan Pesantren Persis di kota itu, Ali Al-Hamidy pun sempat ikut menemani guru sekaligus sahabatnya itu. Sampai ketika Jepang datang ke Indonesia dan Pesantren Persis Bangil tidak mau ikut aturan wajib saikerei (membungkuk) ke Jepang, akhirnya pesantren itu tutup sementara.
KH. Ali Al-Hamidy lalu kembali beraktivitas di Jakarta. Namanya terus dikenal, bahkan dirinyalah yang pertama kali mengadakan shalat Hari Raya Idul Fithri di tanah lapang, yang pada saat itu di Batavia masih tabu dilakukan. Shalat diadakan di Lapangan Banteng, dan dipimpin langsung oleh Al-Hamidy. Begitu pula, ketika terjadi agresi militer Belanda kedua pada 1948, Ali Al-Hamidy tampil dengan gagah berani, mengadakan shalat Jumat di Jl. Raya Pegangsaan, dekat gedung proklamasi yang saat itu diblokade oleh tentara Belanda. Di bawah kawalan Panser dan tentara penjajah, dengan lantang Ali Al-Hamidy menjadi khatib Jumat.
Diantara karya-karya KH. Md. Ali Alhamidy adalah; Godaan Setan, Jalan Hidup Muslim, Islam dan Perkawinan, Perbaikan Akhlak, Ruhul Mimbar, Adabul Insan fil Islam, dan lain-lain. Beberapa karyanya ada yang ditulis dari dalam penjara, ketika ia ditangkap pada masa rezim Nasakom. Ia ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan yang tidak jelas, semata-mata hasutan dari Partai Komunis Indonesia. Meski dikenal sebagai aktivis Persis, karya Al-Hamidy yang berjudul Ruhul Mimbar sering dipakai oleh para kyai NU untuk khutbah Jumat.
Selain aktif di Persatuan Islam (Persis), ketika umat Islam mendirikan Partai Masyumi, KH. Md. Ali Alhamidy ikut menjadi aktivis partai tersebut dan banyak menulis artikel di Suara Masjumi. Tokoh Persis dari Betawi ini wafat pada 22 Agustus 1985 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Pusat. (Persis.id/Arta Abu Azzam)
Advertisement
EmoticonEmoticon