Kebijakan politik Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat Presiden (Surpres) revisi UU KPK kepada DPR RI beberapa hari lalu merupakan jebakan maut kepentingan politik legislasi DPR RI untuk memiliki ruang dan gelanggang mengutak-atik UU KPK dan tindakan politik Presiden Joko Widodo tersebut keliru dan terlalu buru- buru tanpa mempertimbangkan implikasi hukum dan politik secara universal dan radik sehingga menuai protes dan penolakan berbagai pihak.
Untuk saat ini, UU KPK tidak perlu diperbaiki karena substansinya cukup responsif. Yang perlu diperbaiki adalah mentalitas, kredibiltas, kapabilitas serta track record orang-orang yang menduduki lembaga anti korupsi itu.
Kita masih meyakini bahwa keberadaan UU KPK yang sudah ada cukup responsif, tinggal bagaimana komisioner KPK menjalankan UU ini sebagaimana mestinya dan bukan dijalankan apa adanya.
Perubahan suatu UU sangat dimungkinkan manakala substansi dan atau materi dari UU tersebut sudah tidak sesuai fakta aspek sosiologis, politis dan filosofis dan perkembangan kehidupan hukum di kalangan masyarakat. Akan tetapi, saat ini belum waktunya dan yang sangat jauh lebih penting saat ini adalah melahirkan orang-orang yang patut menduduki jabatan KPK agar visi dan misi lembaga anti korupsi itu dapat dijalankan sesuai dengan perintah UU KPK.
Sesempurnanya sebuah produk UU tidak akan menjamin substansi dari UU tersebut sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara manakala penegak hukum dan atau penyelenggara negara yang menjalankan UU tersebut tidak memiliki political will yang kuat dan moralitas hukum yang tinggi dan mentalitas yang baik.
UU KPK saat ini telah banyak memenjarakan para maling-maling uang negara dan saat ini diduga banyak kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok merasa terancam hidupnya dan kepentingannya akibat keberadaan UU KPK.
Lembaga negara DPR RI, Pemerintah dan pihak-pihak lain sudah bersepakat secara politik bahwa pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi adalah musuh bersama dan negara. Lalu kenapa kita antipati pada lembaga tersebut? Menjadi aneh apabila kalangan DPR RI dan pejabat-pejabat lainnya sangat bernafsu untuk merivisi UU KPK tanpa mempertimbangkan implikasi hukum dan politik secara universal dan radik.
Merivisi sebuah UU merupakan bagian dari politik hukum pemerintah. Maka revisi itu boleh dilakukan sepanjang ruang lingkup revisi itu benar-benar kepentingan negara atau publik dan bukan karena dendam atau nafsu kepentingan politik semata.
Kita tidak meragukan keberadaan UU KPK. Akan tetapi yang sangat kita ragukan adalah orang-orang yang menduduki jabatan di lembaga anti korupsi itu.
Save UU No. 30 Tahun 2002.
DR. Ali Yusran Gea, S.H. M.H.
*Dewan Pakar ICMI Muda Pusat.
*raktisi Hukum dan Pengamat Hukum Tata Negara/ Hukum Administrasi Negara.
Advertisement
EmoticonEmoticon