Koordinator Komite Milenial Anti Korupsi, Agus L curiga ada kongkalikong antara Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terkait program penempatan Pekerja Migran Indonesia Satu Kanal atau yang dikenal dengan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) Pekerja Migran Indonesia ke Arab Saudi.
Tudingan itu terkait keluarnya Keputusan Menteri No. 291 tahun 2018 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi Melalui Sistem Penempatan Satu Kanal’ yang terkesan dikeluarkan dengan tergesa-gesa karena kepentingan atau desakan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan demi keuntungan semata, mengingat Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunan dari undang-undang No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum dikeluarkan oleh pemerintah.
“Dari awal keanehan tentang perusahaan penempatan yang ditunjuk untuk melakukan penempatan melalui program SPSK ini harus melalui assesment yang dilakukan oleh Kementerian. Di dalam Kepmenaker No. 291 pada bab III nomor 1 K disebutkan bahwa perusahaan penempatan harus memiliki surat/bukti keanggotaan dalam asosiasi yang ditunjuk sebagai wakil dari KADIN, dimana semua orang tahu hanya APJATI sebagai satu-satunya asosiasi yang memiliki surat penunjukan oleh KADIN sehingga asosisasi lain tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Apa urgensinya bahwa asosiasi harus terdaftar di KADIN? Padahal ada lebih dari satu asosiasi perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia yang seharusnya Kemnaker berikan kesempatan yang sama kepada asosiasi-asosiasi lain. Dan poin-poin itu tadi yang menjadi salah satu dasar assesment yang dilakukan oleh Kemnaker.” kata Koordinator Komite Milenial Anti Korupsi, Agus L.
Masih di dalam Kepmenaker No. 291 pada bab III no. 2, Agus melanjutkan, disebutkan juga bahwa asosiasi bertanggung jawab dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Lalu apa fungsi perusahaan-perusahaan penempatan ini tadi? Padahal jelas yang menempatkan tentunya adalah perusahaan penempatan maka yang paling bertanggungjawab didalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia adalah perusahaan penempatan itu sendiri sesuai fungsi perusahaan penempatan dan tidak ada di dalam fungsi asosiasi. Asosiasi jelas tidak boleh melakukan bisnis.
Dimana fungsi Kementerian Ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi pihak yang harus memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia? Ini malah tidak disebutkan dalam Kepmen 291, bahkan Kementrian Luar Negeri yang seharusnya menjadi bagian dari pelindung warga negara Indonesia di luar negeri sama sekali tidak dilibatkan.
Semakin kuatnya posisi APJATI di dalam program SPSK ini sangat terlihat di dalam Kepmen 291 tersebut, kemudian diperkuat pula oleh surat yang dikeluarkan oleh Kemnaker melalui Dirjen Binapenta dan PKK pada tanggal 17 September 2019, dimana pada poin 4 disebutkan bahwa DPP APJATI melalui surat nomor 031/-BDPP-APJATI/IX/2019 tanggal 5 September 2019 telah memberitahukan bahwa di bawah koordinasi APJATI, perusahaan penempatan telah melakukan berbagai persiapan, pendataan dan lain sebagainya.
Pertanyaannya, apa sepenting itukah APJATI sehingga asosiasi ini bisa melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh Kemnaker? Belum lagi di dalam surat edaran itu juga disebutkan pada poin 6, Kemnaker melalui Dirjen Binapenta dan PKK lagi-lagi melalui fasilitasi oleh APJATI para perusahaan penempatan ini telah menunjuk PT. BUMI (Bursa Usaha Migran Indonesia) sebagai EO penyelenggara job fair guna menjaring calon-calon pekerja migran Indonesia.
Padahal jelas disebutkan dalam UU no. 18/2017 bahwa perekrutan calon pekerja migran Indonesia dilakukan oleh pemerintah daerah. Siapakah PT. BUMI ini? Benarkah fungsinya hanya sebagai EO penyelenggara job fair? Silahkan lihat susunan pengurus perusahaan tersebut yang tidak lain adalah perpanjangan tangan pengurus APJATI saat ini.
Proses assessment yang sarat nuansa kolusi dilakukan oleh kementerian. Banyak bukti yang menunjukan bahwa kementerian telah menyimpang dari kepmen yang dibuatnya sendiri. Kepmen cacat materi, pelaksaanaannya pun cacat.
Contoh kecil ada perusahaan yang belum berusia 5 (lima) tahun telah melakukan penempatan perorangan sebelum moratorium. Atau perusahaan yang telah tidak ada data penempatan selama lebih 3 tahun, tapi memiliki neraca keuangan yang sehat. Ada juga perusahaan yang telah memutuskan tidak memperpanjang izin operasionalnya tapi demi SPSK diaktfikan kembali dan dipaksakan lulus assessment oleh kementerian yang kolusi dengan APJATI.
Dari hal-hal yang disebutkan di atas, Agus menambahkan, ini saja sudah cukup seharusnya bagi KPK dan OMBUDSMAN untuk memeriksa kemungkinan adanya benih kolusi dan korupsi antara asosiasi, kementerian dan oknum di dalamnya.
“Masalah penempatan pekerja migran ini sangat sensitif. Seharusnya Kementerian tidak mengeluarkan kebijakan apapun khususnya di akhir masa jabatan menteri saat ini. Apalagi yang akan ditempatkan adalah manusia, kok penempatan manusia coba-coba. Atau bila penempatan ala SPSK ini dipaksakan harus berjalan, mohon kiranya KPK memberikan supervisi dalam pelaksaanaanya." tambah Agus.
Sebagai Koordinator Komite Milenial Anti Korupsi, Agus melihat banyak sekali keanehan dan sangat kental bau kolusi yang memiliki peluang korupsi di dalam pelaksanaan program SPSK ini yang bisa dibuka.
"Seharusnya Kemnaker transparan dalam penyusunan teknis pelaksanaan dan tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan kebijakan atau aturan apapun yang berkaitan dengan SPSK ini. Publik akhirnya akan menilai, apakah benar SPSK ini harus dijalankan dengan cara-cara kotor dan tidak menjamin perlindungan pekerja migran namun hanya untuk mengeruk keuntungan semata, ataukah pemerintah betul-betul memikirkan perlindungan bagi warganegaranya,” tutup Agus.
Advertisement
EmoticonEmoticon