Oleh: Dr Miftahur El Banjary Lc MA
Imam Syafie, seorang Syaikhul Masyaikh (gurunya para pembesar ulama), ketika itu sedang mengajar di majlis ta'limnya. Dihadiri sekian banyak para muridnya yang terdiri dari para ulama besar di zamannya.
Tatkala Imam Syafi'e sedang asyik mengajar, tiba-tiba ada seorang anak kecil sedang bermain-main berlarian di masjid. Imam Syafie yang tengah mengajar, tiba-tiba menghentikan penjelasannya. Beliau berdiri takzim, menundukkan kepala, hingga sang anak kecil itu berlalu.
Terang saja, perilaku sang mahaguru yang begitu takzim menghormati sang anak kecil itu mengundang penasaran dan rasa ingin tahu para murid Imam Syafie. Siapakah gerangan si anak kecil yang begitu dimuliakan oleh sang Imam?
Imam Syafie menyadari pertanyaan itu muncul dari benak para muridnya. Imam Syafie menjelaskan bahwa anak kecil itu adalah anak dari seorang guru yang Imam Syafie pernah belajar pada ayahnya.
Ketika ditanyakan mengapakah sedemikian takzim dan hormatnya Imam Syafie hanya pada seorang anak guru yang pernah mengajarinya ilmu?
Imam Syafie menjawab, hal itulah yang menunjukkan sikap serta adab dalam menghormati dan memuliakan ilmu dan para ahli ilmu. Imam Syafie tidak sekedar memuliakan gurunya saja, namun juga mencintai serta memuliakan anak keturunannya.
Demikianlah akhlak dan penghormatan Imam Syafie yang sedemikian tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan gurunya.
Kata Imam Syafie lagi, "Hampir lebih dari 30 tahun lamanya, aku selalu istiqamah mendoakan guruku Imam Malik agar diberkahi umur panjang, sehat afiat dan istiqamah mengajar setiap selesai shalat 5 waktu."
Maka wajarlah, Allah Swt angkat derajat beliau sedemikian mulia pula sebagai Imam Mujtahid Mazhab yang ilmunya dan pemikiran ijtihadnya terus dipelajari dan dikembangkan serta diamalkan hingga hari kiamat. Masya Allah tabarakallah.
Lantas, apakah kedudukan seorang guru itu hanya sebatas guru di ruang belajar, majelis ta'lim, masjid, kampus, madrasah atau tempat belajar?
Dalam konteks kekinian, guru kita, siapa saja yang dengan pengetahuannya, ilmunya, tulisannya, ucapannya, yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat.
Meskipun melalui media sosial, postingan yang berisi ilmu pengetahuan yang membuat kita tahu, melalui video broadcast, melalui meme atau gambar sekalipun, bahkan hanya sekedar memberikan inspirasi saja, itulah guru kita.
Sekiranya kita menganggap orang yang memberikan ilmu hanya sekedar informasi saja, maka kita tidak akan mendapatkan keberkahan apa pun, hanya sekedar informasi yang lewat begitu saja.
Namun di saat hati kita tawadhu, mau sedikit berendah hati, mengganggap setiap orang yang menyampaikan pengetahuan sebagai guru kita yang mengajari ilmu pengetahuan, maka di sanalah Allah akan menganugerahkan keberkahan-keberkahan ilmu tersebut pada kita.
Mengutip perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib:
أنا عبد من علمني حرفا واحدا إن شاء باع وإن شاء استرق
"Saya budak dari seseorang yang mengajariku sekalipun hanya satu huruf saja dari ilmu pengetahuan. Aku berkenan, sekiranya dia ingin menjualku atau memerdekakanku."
Dalam sebuah atsar dan perkataan ulama disebutkan:
"Barang siapa yang tidak menghormati ilmu dan ulama, maka akan ditimpakan 5 balasan di seketika ketika dia masih di dunia: (1) Dicabut keberkahan ilmunya. (2) Dicabut keberkahan rezekinya (3) Dicabut keberkahan hidupnya (4) Dicabut keimanannya saat sakratul maut (5) Mati dalam keadaan Su'ul Khatimah." Naudzubillah..
Jadi, nilai keberkahan itu terletak pada seberapa tinggi seseorang mampu menghargai dan menghormati ilmu pengetahuan dan ahli ilmu yang diberikan oleh Allah karunia keilmuan. Inilah akhlak seorang santri sesungguhnya.
Advertisement
EmoticonEmoticon