Selasa 17 Septermber 2019, AILA Indonesia bersama dengan berbagai organisasi kepemudaan melakukan aksi damai menolak Rancangan Undang –Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) di depan gerbang gedung MPR/DPR. Aksi damai ini diikuti oleh ratusan massa yang peduli pada kedaulatan bangsa.
Aksi damai yang berlangsung sejak pukul 12,30 menurut keterangan Reviana selaku Korlap, aksi ini ditujukan untuk menghimbau berbagai pihak khususnya anggota DPR RI untuk tidak mensahkan sebuah undang-undang yang menimbulkan pro kontra yang sangat kuat di masyarakat.
Pukul 14.30 perwakilan massa dipersilahkan masuk oleh anggota dewan untuk didengarkan aspirasinya. Selain perwakilan dari pihak yang menolak RUU P-KS, hadir pula perwakilan kelompok yang pro pada RUU P-KS.
Saat diminta bicara, Rita Soebagio ketua AILA Indonesia menyatakan, “Yang menjadi inti dari penolakan ini adalah filosofi yang menjadi dasar RUU P-KS. Karena jika filosofinya bukan berdasarkan filosofi bangsa Indonesia, maka akan sangat mungkin ada penumpang gelap dalam RUU ini. Sebuah rancangan undang-undang harus memenuhi landasan sosiologi, filosofis, yuridis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia secara luas dan berkeadilan. Selain itu kami menegaskan bahwa, menolak RUU P-KS bukan berarti kami tidak peduli pada korban kekerasan dan menolak RUU P-KS bukan berarti kami mendukung para pelaku kekerasan. Ini kan tuduhan yang sering ditujukan oleh para pendukung RUU. Ada 190 ormas besar yang menandatangai surat pernyataan menolak RUU. Maka otomatis tuduhan dan fitnah tersebut pun ditujukan pada 190 ormas.”
Menanggapi pro kontra yang terjadi, Endang dari Fraksi Partai Golkar (FPG) menyatakan,
“Jika terjadi polemik di masyarakat maka RUU harus dikaji lebih dalam. Karena RUU ini akan mengikat seluruh masyarakat Indonesia. Maka menurut kami, RUU ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu dekat. Akan kami carry over pada periode berikutnya. Dan memutuskan sebuah RUU itu tidaklah mudah. Karena bagi kami ini menyangkut urusan dunia akhirat.”
Dyah Pitaloka dari Fraksi PDIP pun menyatakan hal yang sama,
“Kami ini serba salah. Jika melakukan pembahasan RUU dibilang lambat. Jika memutuskan RUU dibilang terlalu terburu-buru. Ibu – ibu harus paham, bahwa mensahkan sebuah RUU perlu pertimbangan yang panjang dan diskusi yang panjang. Maka menurut kami, jika ada masyarakat yang menolak, RUU ini tidak baik-baik saja. Kami akan carry over pada periode berikutnya. Namun kami berjanji akan mendesak RUU ini untuk disahkan pada periode yang akan datang.”
Tidak berbeda dengan Endang dan Dyah, Rahayu Saraswati dari Fraksi Partai Gerindra pun menyatakan hal yang sama,
“Saya masih ingat kok tahun 2017 ibu – ibu AILA datang ke kantor saya untuk menyerahkan DIM. Nah bagaimana mau dilihat itu DIM nya bu. Wong pembahasannya saja tidak pernah dilakukan. Kami ini mau diskusi, mau mendengar aspirasi masyarakat. Tapi bagaimana mau diskusi jika pembahasannya saja tidak pernah dilakukan. Ini kan bikin pusing. Makanya, kami menyarankan untuk caary over saja ke periode berikutnya.”
Setelah mendengar pendapat dari kedua belah pihak, rapat dengan komisi 8 pun dibubarkan. AILA Indonesia bersama perwakilan ormas pemuda kembali ke depan gerbang MPR/DPR untuk bicara di hadapan massa.
Dalam orasinya Rita Soebagio menyatakan, “Bagaimana mungkin sebuah RUU akan disahkan jika tidak melalui pembahasan. Padahal sebuah undang – undang haruslah lahir dari sebuah pembahasan yang komprehensif.”
Selain itu, menanggapi berita yang tersebar di media Kamis, 19 September 2019, AILA pun mempertanyakan inkonsistensi komisi 8,
“Inkonsistensi anggota dewan komisi 8 ini terjadi dengan adanya pernyataan dari ketua Panja Komisi 8 untuk RUU P-KS yaitu Marwan Dasopang yang dikutip media Kompas Kamis 19 September 2019 yang mengatakan RUU P-KS akan tuntas dalam waktu tiga hari. Mengapa bisa berbeda pernyataannya ? Pernyataan di dalam ruang rapat komisi 8 telah dicatat dalam sejarah. Namun ternyata pernyataan ini berbeda dengan yang tersebar di media. Kami mempertanyakan, apakah telah terjadi pembahasan – pembahasan dengan pihak tertentu di luar Senayan ?”
Rita pun menegaskan , " Bagaimana bisa sebuah perundangan selesai dalam waktu tiga hari tanpa melalui tahapan pembahasan sebagaimana yang disebutka oleh anggota panja lainnya."
Advertisement
EmoticonEmoticon