Ibu Pertiwi menangis. Indonesia berduka. Islam kembali kehilangan ulama terbaiknya. Ummat sekali lagi ditinggalkan seorang qudwah. Pun bangsa ini semakin tak punya jimat untuk bertahan melawan segenap gangguan. Cagak Indonesia kembali tiada!
Syaikhuna Kiyai Haji Maimoen Zubair adalah satu di antara dua ulama sepuh yang minggu lalu masih hidup. Selain beliau, ada Kiyai Haji Bashori Alwi di Singosari. Umur beliau berdua unda-undi, Mbah Moen 90 tahun, sedangkan Abah Yai Bashori 92 tahun.
Kami menyebut kiyai kiyai sepuh itu sebagai cagak,e negoro. Dengan air mata yang tertahan, seorang kawan mengabari saya, “Dospundi niki Mas Abrar, cagak,e negoro mpun ajenge telas sedanten.” Saya tak menjawab, karena saya tidak tahu mau jawab apa.
Cagak itu penyangga suatu bangunan. Biasa juga kita sebut sebagai tiang. Suatu bangunan yang tak berpenyangga, tak memiliki tiang yang cukup, bisa dipastikan bangunan tersebut akan oleng. Bahkan, besar kemungkinan nantinya akan roboh.
Kita berharap segera hadir para pengganti yang bersedia berposisi sebagai cagak. Ia kokoh, teguh dan padat. Sehingga sentiasa bertahan, walah harus menyangga beban yang berat. Pun saat arus deras menyeret, ia tetap tegap tak terusik.
Mbah Moen adalah teladan keistiqamahan. Keteguhan sikap dan ketinggian husnuzhzhon kepada orang lain. Istiqamah, jejeg, konsisten itu berat. Maka tak heran, tak banyak orang yang mampu menjalani semuanya secara bersamaan.
Dalam sebuah kunjungan bersama seorang kawan yang alumni Sarang, saya bersyukur masuk diantara orang yang beruntung, bisa berjumpa beliau. Tak banyak yang beliau dawuhkan. “Saking pundi?” ucapnya... “Ten ngeriki niteh nopo?”
Beliau mengijazahi saya Yasin Fadhilah. Saya terima ijazahnya, sekalian dengan buku kecil yang berisi muatan Yasin Fadhilah tersebut. Walau saya sendiri tak yakin bisa istiqamah mengamalkannya. Sabab kacaunya saya ini, menerima sekian banyak ijazah dari banyak guru, sampai kini masih amburadul ngelakonine.
Mbah Moen telah menuntaskan tugas keilmuannya. Tugas kemanusiaan, tugas kebangsaan dan penghambaannya pun telah beliau pungkasi.
Semua meratap. Semua bersedih melepas kepergian beliau. Mereka yang selama ini berlawanan secara politik, pun sama-sama bersedih dan merasa kehilangan. Karena kita semua mencintai Mbah Moen.
Sungguh tak elok kalau kewafatan beliau kita jadikan pembenar untuk menunjukkan kemuliaan diri dan kelompok. Ingat, kemulian itu tidak usah diklaim dan ditunjukkan. Sebagaimana Mbah Moen yang tidak perlu unjuk diri.
Cukuplah meninggalnya beliau menjadi pembukti bahwa beliau benar-benar mulia. Meninggal di tempat yang mulia, pada waktu yang mulia dan dikelilingi oleh orang-orang mulia.
Sugeng tindak, Mbah... Mugi Panjenengan kerso madosi dalem mangke wonten suwargo. [Abrar Rifai]
Advertisement
EmoticonEmoticon