Listrik O Poin O di Era 4 Poin O
Oleh : Hersubeno Arief
Ahad malam (4/8) ketika ibukota Jakarta dan separoh pulau Jawa gelap gulita, listrik menyala terang di ladang-ladang bawang merah di Desa Slatri, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah.
Daya listrik itu berasal dari sejumlah generator diesel, ada juga yang berasal dari aki. Nyalanya berpendaran, seperti nyala kunang-kunang yang sangat besar di kegelapan malam.
Nyala ratusan lampu di sudut desa —sekitar 30 menit dari pusat kota Brebes— itu sangat kontras dengan kehebohan yang terjadi di Jakarta. Kehidupan para petani berjalan terus, dengan atau tanpa pasokan listrik dari PLN.
Bagi para petani bawang di Brebes nyala listrik sangat penting. Soal hidup mati. Menyangkut kelangsungan periuk nasi keluarga.
Sinar terang itu menarik berbagai binatang yang menjadi hama. Mereka mati tenggelam di baskom-baskom air yang ditempatkan di bawah nyala bola lampu.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila para petani ini bergantung kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) PT Persero. Ketika listrik padam, tanaman bawang merah akan dilumat habis berbagai hama.
Kehidupan para petani yang sudah sangat sulit, akan semakin sulit. Panen secara normal saja mereka masih sering rugi. Harga jual sering jatuh dibawah biaya produksi. Apalagi kalau sampai gagal panen.
Padamnya listrik PLN yang berdampak pada lebih 30 juta rumah tangga, transportasi publik, industri, bisnis dan keuangan ini, menyentak kesadarkan kita. Betapa rentannya negara ini. Mudah sekali diporak-porandakan.
Ketika dunia sudah memasuki era industri 4.0 ( four poin O). Industri yang bergantung kepada komputer, robot. Industri digital, bergantung pada internet, namun listriknya masih sering mengalami pemadaman. Byar pet.
Suplai listrik ibukota, tempat istana kepresidenan berada. Sebuah kota yang menjadi pusat bisnis dan perdagangan Indonesia, tanpa cadangan yang berlapis. Sangat sulit dipahami oleh akal sehat.
Seorang teman secara sinis menyebut listrik Indonesia masih dalam era 0.0 (O Poin O), sementara dunia sudah bergerak ke era industri 4.0. “Listrik byar pet itu hanya terjadi di Eropa pada abad pertengahan,” ujarnya dengan kesal.
Dengan kondisi semacam itu rasanya terlalu muluk-muluk kita bicara soal industri digital. Membangga-banggakan Unicorn dengan valuasi miliaran dolar.
Membangun industri mobil listrik. Apalagi mobil terbang seperti dibahas oleh Presiden Jokowi dengan para bos Hyundai Motors Group dari Korea Selatan yang pekan lalu bertemu dengannya di istana.
Kita sering melompat terlalu jauh, tanpa terlebih dahulu menyiapkan fondasi yang kokoh.
Listrik untuk para petani saja masih belum tersedia, sudah bicara industri digital. Industri mobil nasional (Esemka) sampai sekarang belum terwujud, tapi sudah bicara tentang industri mobil listrik, bahkan mobil terbang.
Mimpi besar itu hanya akan menjadi mimpi di siang bolong, ketika hal yang paling mendasar masih belum mampu kita penuhi. Kepastian pasokan listrik. Bagaimanapun ketersediaan dan keandalan listrik adalah syarat utama sebuah industri.
Seperti sebuah bangunan megah, namun pondasinya tidak dipersiapkan dengan baik, bahkan diabaikan. Tinggal menunggu waktunya untuk roboh.
Cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Harus ada kesadaran dan keberanian untuk berubah.
(Fundamental ekonomi yang lemah)
Tak jauh dari ladang-ladang bawang merah itu sedang berlangsung sebuah diskusi cukup serius. Temanya : Memperkuat Fundamental Ekonomi Indonesia.
Sebuah tema yang penting, dan secara kebetulan pula aktual sesuai dengan konteks peristiwa.
Digelar di sebuah padepokan yang dibangun oleh mantan Menteri ESDM Sudirman Said. Padepokan Akal Sehat, begitu Rocky Gerung memberi nama.
Rocky pernah diundang bicara di tempat ini. Ajaibnya ratusan orang datang membludak. Di tempat yang jauh dari mana-mana, far away from nowhere, akal sehat ternyata tetap tumbuh subur
Topik yang cukup berat itu disampaikan oleh Chief Economist Institut Harkat Negeri (IHN) DR Awalil Rizky. Pesertanya datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jakarta. Mereka baru saja mengikuti pelatihan kepemimpinan di padepokan.
Mayoritas yang hadir adalah para mantan anggota relawan pendukung Sudirman Said pada Pilgub Jateng 2018 dan relawan 02 pada Pilpres 2019.
Kendati pilpres telah usai, para relawan tetap solid. Tetap semangat menghadirkan ikhtiar baru. Ikhtiar memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadikan kehidupan rakyat lebih baik.
Mereka tambah bersemangat karena hadir sebagai penanggap sejumlah purnawirawan TNI dipimpin oleh mantan Wamenhan Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin.
Para purnawirawan ini antara lain mantan KSAU Marsekal TNI (Purn) Imam Sufaat, mantan Pangdam Jaya dan Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Agus Sutomo, mantan Sekjen Wantanas Letjen TNI (Purn) Nugroho Widyotomo Dll. Sementara dari tokoh sipil tapak hadir mantan Menteri Agraria/ Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan.
Data-data yang disajikan oleh Awalil, ekonom lulusan UGM ini semakin menyadarkan kita, fundamental ekonomi kita sesungguhnya jauh lebih buruk dibanding kondisi PLN. Dia menyebutnya “rentan dan rapuh.”
Tidak seperti digembar-gemborkan oleh para pejabat pemerintah, bahwa fondasi ekonomi kita sangat kuat. Tahan atas guncangan eksternal dan gejolak ekonomi global.
Padamnya listrik PLN hanya semacam symptom. Gejala-gejala yang membawa kita menemukan penyakit parah yang sedang diderita oleh perekonomian nasional.
“Otoritas ekonomi hanya mengartikan fundamental ekonomi sebagai kondisi umum berdasar indikator makro ekonomi, dan bahkan hanya merujuk kepada sebagian indikator, serta dalam perspektif jangka pendek,” ujar Awalil.
Akibatnya, fundamental ekonomi yang sebenarnya rapuh tertutupi oleh kondisi perekonomian yang tampak cukup baik dilihat dari beberapa indikator makroekonomi.
Awalil menawarkan pendekatan berbeda. Dia mengusulkan definisi singkat fundamental ekonomi adalah “Kemampuan suatu perekonomian memproduksi barang dan jasa secara berkelanjutan”.
Dengan definisi tersebut hasilnya sangat jauh berbeda. Hal-hal mendasar dalam suatu perkonomian, tergambarkan dengan jelas.
Memberi gambaran jawaban atas apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Dan kondisi yang digambarkan harus meliput waktu cukup panjang, sekurangnya kondisi sepuluh tahun terakhir.
Faktanya untuk hal-hal yang sangat mendasar berupa bahan-bahan pokok, terutama pangan, kita kian bergantung kepada impor.
Sjafrie Sjamsoeddin melihat faktor kepemimpinan (leadership) dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan sangat menentukan jika ingin Indonesia maju, mandiri dan berdaulat. end
Advertisement
EmoticonEmoticon