Rekonsiliasi Untuk Siapa?
Oleh: Nadeem*
Rasulullah mengatakan, perang adalah tipu daya. Banyak yang menganalogikan 'perang' yang disebut oleh Baginda Saw. tersebut adalah politik. Terutama yang berseteru di pilpres dan pileg kemarin. Namun sebagiannya lagi menyebut politik adalah seni. Sedangkan para ulama masih meyakini bahwa politik adalah bagian dari uslub, sebagai jalan untuk memenangkan kepentingan umat dan meninggikan kedudukan Islam sebagai Ad-Dien (agama).
Ulama yang mana? Tentu saja ulama yang berani menasehati penguasa dalam upaya menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar. Ulama yang tidak mengharapkan imbalan materi maupun tahta. Bukan ulama yang sekaligus komisaris perusahaan BUMN.
Meski begitu, sah-sah saja masyarakat menganalogikan apapun dalam memaknai politik. Tak harus memiliki titel, atau selesai melahap puluhan hingga ratusan buku, dan membaca seribu lembar buku politik untuk muqaddimahnya saja. Semua bebas memaknai dan menafsiri. Karena politik bukanlah ayat. Politik hanyalah siasat tentang bagaimana memperoleh kekuasaan dan kepentingan.
Masyarakat yang kemarin terlalu sibuk memenangkan sosok pribadi dalam kontestasi pilpres 2019, bisa menganalogi apapun dalam memaknai politik. Entah itu tipu daya maupun seni. Bagi yang menganalogikan keduanya, perjuangan berakhir jika sosok yang dipilihnya atau dicalonkannya memenangkan kontestasi kemudian menduduki jabatan, sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Segala daya dan upaya dikerahkan. Saling tuding kecurangan, kelicikan, konspirasi, keculasan terpampang gamblang meski sangat sulit dibuktikan di pengadilan. Segala kemampuan finansial dihamburkan. (Bahkan) nyawa pun dikorbankan. Mungkin itulah kenapa sampai-sampai politik pun dimaknai sebagai "perang total". Makna yang baru muncul saat pilpres 2019 lalu.
Bagi sebagian masyarakat, pada sisi potongan penikmat hasil pembangunan infrastruktur dan ekonomi yang 'meroket' selama 5 tahun masa pemerintahan, sidang MK telah menyelesaikan pertarungan. Meski masih menyisakan secuil ketegangan. Dan, pertemuan di MRT kemarin sebagai penyempurna kemenangan.
Meme dan tulisan tak "ada lagi cebong-kampret" bertebaran. Seolah bijak namun masih tetap bernada pejoratif dan insinuatif.
Mereka menganggap segala pertarungan selama kontestasi berlangsung telah selesai. Pun begitu, sosok Capres-Cawapresnya yang dianggap menang oleh lembaga penyelenggara pemilu. Mereka mendapatkan legitimasi kemenangan mereka dari pertemuan di MRT tersebut dengan menyebutnya sebagai rekonsiliasi.
Sementara, bagi sebagian masyarakat yang lainnya, pada potongan bukan penikmat ekonomi meroket, baik para pendukung maupun Capres-Cawapresnya sendiri, yang dianggap kalah oleh penyelanggara pemilu, pertemuan di MRT kemarin dianggap bukanlah final. Apa yang terjadi di dalam MRT dan di atas piring sate kemarin adalah 'gimmick' politik. Gimmick politik yang disetarakan dengan siyasah perang shahabat pada masa Rasulullah Saw.
Bagi mereka, masih ada langkah lain yang bisa ditempuh untuk memenangkan kontestasi. Masih akan ada pintu-pintu yang akan diketuk untuk menyampaikan gugatan, sebelum waktu pelantikan. Ibaratnya, sebelum janur kuning melengkung, kursi pelaminan masih bisa direbut. Saat ini masih tunangan. Belum ada ijab qobul. Masih belum ada penghulu dan surat nikah yang berstempel KUA. Mungkin, jika saja ada persewaan alat pengantin yang bisa menyewakan kursi tersebut, mungkin mereka akan menyewanya.
Namun kursi itu satu-satunya. Itulah kenapa mahal harga sewanya. Sampai triliunan rupiah. Pendek kata, jika ingin duduk di kursi pelaminan tersebut harus kuat biaya, dan siap bertarung hingga tetes darah penghabisan.
Ironisnya, meski mahal harga sewanya, sang pemilik kursi yakni rakyat, tak pernah mendapatkan apa-apa. Untung besar, boro-boro. Rakyat hanya disuguhi kesulitan, kerisauan, ketakutan, ketiadaan, dan ketidak-berpihakan. Lantas, siapa yang untung? Coba tanyakan kepada rel MRT yang kemarin dilewati gerbong MRT yang dinaiki oleh kedua capres yang bertanding di pilpres kemarin.
Sudahlah, rakyat sudah capek, sudah bosan dengan gaduhnya politik. Hari ini, mau rekonsiliasi atau tidak, toh rakyat sudah tidak mempedulikan lagi. Ada banyak cerita pilu, kesewenang-wenangan, ketidak-percayaan, dan pengkhianatan yang sudah rakyat rasakan. Rakyat sudah tidak lagi mempercayai bayangan maya dari manusia yang bernama keadilan (dunia). Rakyat hanya berharap pada keadilan akhirat dari Sang Maha Adil.
Silahkan duduk berdua di MRT. Silahkan makan sate berdua, kalau perlu saling suap-suapan. Silahkan bicara deal-deal politik termasuk jatah kabinet dan jabatan. Rakyat sudah tidak peduli lagi.
Rakyat hanya butuh kerja, butuh makan, butuh lahan pertanian, butuh penghasilan, butuh pendidikan layak yang tidak membingungkan dan merepotkan.
Mau rekonsiliasi atau tidak, rakyat tetap tidak peduli. Rakyat tidak pernah menjadi bagian rekonsiliasi. Ingat doa makbul orang yang didzolimi. Bisa jadi diantara rakyat pernah didzolimi ada yang mendoakan mati.
*Penulis adalah mantan marbot masjid
Advertisement
EmoticonEmoticon