Jokowi dan Potret Persoalan Bangsa
Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
2014 Jokowi jadi hero. "Kawulo alit" yang berpeluang nyapres. Sebuah terobosan baru bagi rakyat Indonesia. Jokowi hadir seolah sebagai antitesa terhadap para penguasa yang elitis.
Pemuda dari Solo ini tak hanya populer dengan gaya komunikasi politiknya yang unik dan mobil Esemka-nya yang menasional, tapi juga gagasan-gagasan untuk Indonesia kedepan yang jelas dan brilian. Dan akhirnya, rakyat memilihnya jadi presiden 2014-2019.
Banyak masalah yang harus dihadapi Jokowi ketika dilantik jadi presiden. Ada tiga yang dianggap serius, bahkan fundamental.
Pertama, persoalan integritas. kebocoran anggaran lebih dari 50 persen selama ini menunjukkan betapa birokrasi memiliki persoalan serius. Ini menyangkut mentalitas aparatur negara. Demikian juga dengan lembaga-lembaga hukum, mulai dari kejaksaan, kehakiman hingga kepolisian. Hadirnya KPK sebagai lembaga ad hoc (sementara red) yang tak kunjung dibubarkan menunjukkan betapa lembaga-lembaga hukum yang sudah ada dianggap sangat lemah, terutama berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Mestinya lembaga-lembaga hukum tersebut sadar, lalu melakukan perbaikan diri untuk mendapatkan kembali kepercayaan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya, sejumlah oknum di lembaga-lembaga hukum tersebut ditangkap KPK karena persoalan korupsi. Ini tentu jadi ironi.
Untuk mengatasi masalah integritas ini, Jokowi memiliki program "revolusi mental". Ini tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Sebagaimana Soekarno, presiden pertama ini pernah bilang bahwa Indonesia butuh _mental Investment_ yang lebih serius, bersamaan dengan _Investment of human skill_ dan _material Investment_
Tidak diketahui secara persis apakah Jokowi, tepatnya tim konsep Jokowi, mengkampanyekan "revolusi mental" ini terinspirasi dari Soekarano atau bukan. Yang jelas, konsep "revolusi mental" sangat tepat dan diterima oleh rakyat sebagai harapan untuk Indonesia Baru. Dan konsep ini telah memberikan kontribusi signifikan untuk suara Jokowi di pilpres 2014.
Hanya saja, konsep "revolusi mental" belum menemukan buktinya hingga periode pertama pemerintahan Jokowi berakhir. Yang terjadi justru birokrasi dan lembaga-lembaga hukum tersebut dicurigai telah dimanfaatkan untuk tujuan politik, baik dalam pilpres 2019 maupun sebagai alat untuk melumpuhkan lawan politik. Disini, konsep "revolusi mental" Jokowi tak membumi.
Kedua, persoalan keadilan. Ini amanat UUD 1945 diantaranya pasal 27, 31, 33, 34 dan Sila Kelima dalam pancasila. Indonesia Timur, Tengah dan Barat tak berimbang terutama dalam aspek ekonomi dan pendidikan. Indonesia Timur jauh ketinggalan dibandingkan wilayah Indonesia yang lain. Faktor utamanya karena pembangunan tak merata. Jokowi membuat terobosan infrastruktur dalam konsep "tol laut". Sebuah konsep yang bisa dibilang sangat cemerlang.
Tol laut diterjemahkan dalam bentuk pembangunan pelabuhan-pelabuhan sehingga dapat mendekatkan jarak antara satu wilayah kepulauan ke wilayah yang lain. Satu propinsi ke propinsi yang lain. Dengan begitu, setiap warga negara dimanapun berada akan dapat mengakses transportasi yang mudah. Dengan transportasi yang mudah diharapkan dunia usaha akan bergairah dan roda ekonomi akan berputar lebih cepat. Harga-harga jadi murah dan masyarakat, terutama yang hidup di wilayah Timur bisa menikmati kesejahteraan ekonomi sebagaimana mereka yang hidup di wilayah Tengah dan Barat.
Tak hanya tol laut, infrastruktur jalan pun dibangun. Mulai dari jalan tol hingga jalan raya yang menghubungkan satu kota ke kota yang lain, bahkan antara kota dan desa.
Sayangnya, ekpektasi itu tak seindah kenyataan. Infrastruktur sudah diupayakan untuk hadir, tapi tak sesuai rencana. APBN tak cukup untuk mengcover semua biaya pembangunan yang direncanakan. Terpaksa menggunakan biaya dari pinjaman luar negeri. Alias hutang. Ambisi Jokowi untuk membangun infrastruktur, tidak saja pelabuhan, tapi juga bandara dan jalan tol, rupanya membuat APBN berulangkali jebol. Oktober tahun ini pun kabarnya APBN defisit lagi setelah April lalu. Tak ada jalan keluar kecuali mengandalkan hutang. Inilah yang dikritik Kwiek Kian Gie. Ambisi membangun infrastruktur tak memperhatikan kemampuan APBN.
Yang ironi dari infrastruktur ini, bahwa banyak infrastruktur yang mangkrak dan tak maksimal pemanfaatnya. Dan yang lebih miris lagi, infrastruktur itu mulai dijual ke pihak swasta, termasuk asing. Mulai dari bandara, pelabuhan hingga jalan tol. Kita bisa bayangkan jika Bandara dan Pelabuhan dimiliki oleh asing.
Berbagi persoalan terkait dengan infrastruktur menunjukkan betapa program ini tidak direncanakan dengan baik. Arti baik itu telah mempertimbangkan semua aspek termasuk kekuatan APBN, dampak ekonomi, dan tingkat urgenitas bagi kebutuhan rakyat.
Ketiga, kedaulatan rakyat. "No Impor'. Ini kalimat sakti Jokowi saat kampanye 2014. Cukup menghipnotis rakyat. Dan benar, bangsa ini punya masalah terkait kedaulatan, terutama pangan. Sedikit-sedikit impor. Beras dan garam yang notabene berlimpah di sawah petani, tapi harus impor. Untuk apa impor? Kata Jokowi dalam salah satu pidatonya saat kampanye.
Ini konsep yang bagus sekali. Menjawab persoalan yang sedang dihadapi petani. Dan Indonesia mesti harus mandiri di bidang pangan. Tak boleh sepenuhnya bergantung pada impor. Ide Jokowi tahun 2014 ini perlu diapresiasi dan didukung.
Persoalannya, ketika Jokowi jadi presiden 2014-2019, impor justru makin ugal-ugalan. Petani menjerit, tapi impor jalan terus. Kabulog dan menteri perdagangan berseteru terbuka di hadapan publik. Menteri pertanian tak bisa berbuat apa-apa. Ketika rakyat menuntut pada Jokowi, jawabnya: tanyakan ke menteri perdagangan. Haduh!
Tiga persoalan di atas, yaitu mental, keadilan dan kedaulatan pangan masih jadi hutang Jokowi kepada rakyat yang belum dipenuhi. Dan Jokowi terpilih kembali untuk periode 2019-2024. Jika lima tahun kedepan ini Jokowi bisa membayar hutang-hutangnya kepada rakyat, maka ia berpeluang husnul hatimah. Pensiun terhormat dan akan dikenang sebagai presiden yang sukses menyelamatkan rakyat dari tiga persoalan bangsa yang sangat fundamental itu. Jika tidak, kekecewaan rakyat akan semakin akut. Dan kepemimpinan Jokowi boleh jadi akan dikenang rakyat sebagai kecelakaan bagi sejarah Republik Indonesia.
Jakarta, 15/7/2019
Advertisement
EmoticonEmoticon