Negeri ini menangis. Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi berubah jadi tragedi. Lebih dari 700 petugas KPPS meninggal. Belasan ribu sakit. Mulai dari sakit ringan hingga sakit berat. Delapan orang wafat ketika protes terhadap pemilu yang dianggap sarat kecurangan. Sebagian dari mereka yang mati adalah remaja. Dua orang diantaranya mati karena tertembak peluru tajam.
Sejumlah tokoh dan ulama yang kritis ditangkap dan dijadikan tersangka. Sebagian dituduh makar. Dijebloskan ke penjara dengan ancaman hukuman yang memberatkan. Pelanggaran yang sama tak berlaku bagi mereka yang mendukung penguasa. Disinilah keadilan patut diperjuangkan.
Banyak yang menyebut pemilu kali ini adalah yang terburuk di sepanjang sejarah demokrasi Indonesia. Paling curang dan paling brutal. Terjadi pelanggaran yang transparan dan telanja*g.
Di sisi lain, penguasa yang diharapkan ikut bertanggungjawab untuk meredakan dan menstabilkan situasi tak kunjung hadir. Bahkan dicurigai ikut terlibat, atau setidaknya mendiamkan tragedi itu terjadi hingga berlarut-larut. Sebuah tragedi yang membuat suasana tegang dan bahkan mencekam bagi rakyat. Negara ini seolah kehilangan pemimpin yang bisa menjamin rasa aman bagi rakyatnya.
Penguasa cenderung lebih mengedepankan tindakan represif daripada pendekatan persuasif. Absennya pemimpin membuat negara ini lalu dikendalikan oleh segelintir elit yang haus dan rakus kekuasaan.
Tragedi pemilu terjadi tanpa ada pihak yang merasa bertanggung jawab. Ini akan menjadi luka sejarah yang akan selalu diingat dalam memori bangsa Indonesia ke depan.
Proses pemilu belum berakhir. Tragedi Kemanusiaan yang telah merampas kedaulatan rakyat masih jadi trauma. Selain belum ada yang menyatakan bertanggung jawab terhadap kasus per kasus, mekanisme pemilu telah sampai di Mahkamah Konstitusi (MK). MK mesti keluar dari ruang normatif yang sempit. Artinya tidak hanya menjadi institusi yang sekadar bekerja untuk menghitung selisih suara yang disengketakan dalam pemilu. Tapi lebih dari itu, MK harus betul-betul menjadi institusi moral yang benar-benar memperhatikan dan mempertimbangkan nasib masa depan bangsa dan negara.
Di tangan MK nanti akan ada keputusan siapa yang akan dimenangkan dalam persidangan untuk selanjutnya dilantik secara konstitusional menjadi presiden. Disinilah peran krusial MK bagi masa depan bangsa, minimal lima tahun ke depan, bahkan berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Apakah presiden hasil keputusan MK itu akan membawa Indonesia keluar dari problem bangsa, atau justru membuat negara ini makin terpuruk?
Di tangan sembilan hakim di MK, masa depan demokrasi, kedaulatan rakyat dan moralitas bernegara akan ditentukan. Nasib rakyat dan negara ini kedepan akan sangat bergantung kepada keputusan MK.
Apakah MK akan menambah tragedi baru dengan keputusan yang tidak jujur dan tidak adil? Apakah MK akan membuat keputusan sesuai kepentingan sepihak, atau hasil intervensi dan intimidasi? Jika itu terjadi, maka tidak saja kredibilitas MK yang semakin buruk, tapi lebih dari itu, keputusan MK akan membuat rakyat akan semakin putus asa karena tak lagi menemukan keadilan hukum dan politik di negeri ini. Rakyat merasa kedaulatannya secara sistematis telah dirampok oleh hampir semua institusi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan hukum dan merawat demokrasi di negeri ini.
Karena itu, kami atas nama Gerakan Kedaulatan Rakyat (GKR) yang merepresentasikan kegelisahan, bahkan ketakutan rakyat:
1. Mengajak seluruh rakyat Indonesia yang masih peduli kepada nasib bangsa dan memiliki hati nurani untuk bersama-sama memperjuangkan tegaknya keadilan, kedaulatan dan hak demokrasi rakyat demi keutuhan NKRI dan moralitas bangsa di masa depan. Ikut mengawal sidang MK mulai hari ini tanggal 14 Juni hingga tanggal 28 Juni 2019.
2. Meminta kepada pihak yang sedang diberi amanah kekuasaan, khususnya pihak keamanan, memberi ruang bagi rakyat untuk berdaulat atas hak-haknya yang dijamin oleh konstitusi, termasuk hak untuk menyampaikan pendapat dan hak memperjuangkan hak suaranya yang hilang saat pemilu.
3. Meminta kepada semua pihak, terutama penguasa dan para elit di negeri ini untuk tidak melakukan intervensi dan intimidasi kepada para hakim di MK.
4. Meminta kepada para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk bersidang secara profesional dan proporsional mengacu pada fakta-fakta hukum yang ada dan mempertimbangkan aspek moral serta nasib bangsa ke depan.
5. Meminta pada para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tetap independen, jujur, adil dan bebas dari kepentingan maupun intervensi dari pihak manapun dalam mensidangkan kasus sengketa pemilu.
6. MK dalam mengambil keputusan diharapkan tidak hanya mempertimbangkan angka-angka perolehan suara paslon, tapi seharusnya juga mempertimbangkan secara serius pelanggaran hukum, aspek moral dan tragedi kemanusiaan yang terjadi jelang, saat dan pasca pemilu.
7. Pelanggaran hukum, aspek moral dan tragedi kemanusiaan yang terjadi jika diabaikan dalam pertimbangan bagi putusan MK, maka berpotensi akan melahirkan situasi yang semakin buruk di negeri ini.
8. Saat ini, MK menjadi satu-satunya pintu harapan terakhir bagi rakyat untuk mengembalikan optimisme dalam berdemokrasi, bahkan berbangsa dan bernegara. Di tangan MK nasib masa depan bangsa dan negara ini akan ditentukan baik buruknya. Dan kami berharap MK tidak salah dalam membuat keputusan. Karena keputusan MK yang salah akan bisa mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat, lenyapnya demokrasi, lahirnya tirani di negeri ini dan disintegrasi bangsa.
Jakarta, 14 Juni 2019
Korlap,
Dr. Abdullah Hehamahua
Advertisement
EmoticonEmoticon