Dua hari berlalu saya menahan diri untuk tak mengomentari foto selfie-selfie sekelompok elit politik saat Hari Raya Idul Fithri. Selfie yang menjadi viral dan ditafsirkan ragam makna oleh masyarakat Indonesia.
Soal selfie, sebenarnya tak ada masalah. Selfie bisa jadi merupakan budaya baru pada masyarakat kekinian. Memang perlu, apalagi untuk sekadar menandai kenangan momen tertentu. Saya, misalnya, kerap berselfie bersama istri juga anak-anak. Alasannya sederhana, kenangan.
Tetapi, saya amat menghormati siapa pun yang belum atau tidak suka berselfie. Sebab ini memang perkara mubah alias boleh-boleh saja. Tapi kudu diingat, karena mubah maka ia bisa menjadi wajib atau bahkan haram jika darurat atau berlebihan. Sama halnya dengan makan. Ia menjadi dianjurkan agar kuat dalam beribadah. Dan ketika seseorang sakit yang hanya bisa diobati dengan makanan tertentu, maka makanan itu menjadi wajib.
Begitu pula selfie. Ia boleh. Tapi saat berlebihan, bisa jadi hukumnya haram. Apalagi saat dilakukan di tempat terbuka dalam kondisi yang sedang tidak memungkinkan.
Jujur, saya tidak masalah dengan siapa pun yang berselfie. Tapi apa pantas mereka berselfie padahal kubur ibu kandung dan mertua mereka belum kering? Jika pun memang harus berselfie, tidakkah lebih baik jika selfie-nya dilakukan di tempat tertutup dan hanya dikonsumsi mereka yang berselfie saja?
Mengapa harus di tempat terbuka ketika suasana duka? Katanya duka mendalam, kok masih senyum-senyum diajak selfie? Apakah karena tuntutan skenario politik? Apakah selfie itu menjadi syarat agar bisa masuk ke koalisi? Apakah sengaja untuk diupload dan mengirimkan sinyal kepada lawan politik?
Sungguh siapa pun yang meninggal dunia tak akan menerima aliran pahala dari selfie yang dikerjakan oleh anggota keluarganya, meski selfie itu viral secara nasional dan dikomentari ribuan gendruwo di dunia maya.
Malah bisajadi mereka yang sudah menghadap Tuhan akan bersedih melihat selfie anggota keluarganya. Sebab yang dibutuhkan almarhum/ah hanya doa, bukan selfie sembari membuka aurat yang menonjol dimana-mana.
Bisajadi ia yang sudah dimakamkan merasakan pedih melihat selfie anggota keluarganya. Apalagi selfie dengan gembira. Almarhum/ah bisa jadi teriris luka saat tahu, "Ternyata kesedihan mereka sebatas itu. Sekarang sudah gembira dan tertawa."
Ya Tuhan, tolong jaga anak keturunan kami, agar tak berselfie di hari duka, minimal 7 hari setelah kami mati. Jadikan anak kami generasi shalih, yang rajin dan sungguh-sungguh berkirim doa, bukan upload selfie tanpa kerudung, pakaian ketat, dan terbuka di bagian dada.
Pecinta Keluarga Sejati,
@pirmanbahagia
Advertisement
EmoticonEmoticon