Mayoritas Muslim yang menyaksikan aksi ralat itu, tak terima. Bermula dari Sang Kiyai sebut nama lain, padahal di sebelahnya ada sang pesaing.
Laki-laki ini, berani sekali mendatangi sang kiyai. Ia menyodorkan dua michrophone. Sempat membisiki. Kemudian ada sedikit adegan yang membuat ummat tak nyaman.
Mengapa tak nyaman? Bukan seperti itu adab kepada kiyai. Apalagi kiyai sepuh dan bisa dibilang paling sepuh di republik ini, saat ini.
Sejak video itu viral, netizen memberikan julukan: tukang ralat. Jujur, saya tak terlalu mengerti riwayat politiknya. Saya gunakan judul 'tukang ralat' hanya agar ummat memahami maksud tulisan saya.
Saya termasuk yang menyaksikan insiden tak sopan itu. Saya membaca astaghfirullah, berulangkali. Sebagaimana sesama muslim berkultur nahdhiyin, tindakan si tukang itu benar-benar tak layak.
Tapi rupanya, dia makin menjadi-jadi. Dia dan lelaki yang didukungnya masuk ke dalam kamar sang kiyai. Astaghfirullah.
Dari dalam kamar, ia menyalakan ponselnya dan kuota internetnya. Vlog. Sebuah bid'ah yang amat tak pantas.
Dia merekam. Memaksakan senyum. Kemudian melontarkan pertanyaan bernada framing kepada sang kiyai. Niatnya sih menegaskan. Padahal, ummat makin tak simpati padanya.
Tahu kan budaya santri? Jangankan masuk kamar, bertamu ke rumah pun harus menunggu lama di depan pintu sambil menunduk dan berdzikir.
Kok sampai masuk kamar? Itu sangat privasi. Di sana ada kasur, yang merupakan benda sangat pribadi antara sang kiyai dan keluarganya.
Apa dia gak sadar ya? Netizen dengan ramai melontarkan rasa tidak berkenan dan bisajadi, dari sanalah bermula doa tak baik karena kelakuan yang memang tak baik.
Dua kejadian ini viral nasional. Trending di dunia maya, diwartakan media mainstream. Semua tahu dan rata-rata menyayangkan.
Tapi, apakah dia menyesal? Tanya saja, nanti kalau ada yang menjenguk.
Ummat mengira, ini akhir. Ternyata terulang. Dua ulama kembali dia sebut. Ulama Sunda dan Sumatera. Dua ulama yang jamaahnya loyal dan didengar rekomendasinya.
Lucu loh. Dia mulai menyebut nama dua ulama kebanggaan ummat, diberitakan di media nasional, ummat bereaksi, ulama terkait memberikan klarifikasi, lalu dia kembali melakukan ralat dengan dalih: indahnya saling bertabayun.
Dari sini, ummat makin-makin tak karuan rasanya. Kenapa sih harus merusuhi ulama? Bukankah di sana sudah banyak ulama?
Lalu berselang hari, petaka itu tiba. Kiamat. Akhir kisah. Akhir hikayat.
Diawali dengan kejar-kejaran di Surabaya, dibawa ke Polda, diantar ke Bandara, dia kenakan masker dan topi lalu terburu-buru masuk ke dalam ruang check in.
Sesampainya di Jakarta, ia sempat ganti. Kenakan jaket hitam, topi hitam, dan kacamata hitam. Ia berlalu. Buru-buru. Padahal katanya millenial. Millenial kok takut kamera?
Saat terburu-buru masuk, wartawan emosi melihat sosoknya. Terdengar jelas teriakan tak suka.
"Koruptor. Maling."
Esok harinya, tanda kiamat kian jelas. Ia kenakan rompi orange, tetap berkacamata hitam. Anehnya, dia tersenyum. Lalu beredar 2 lembar kertas bertuliskan tangan.
"Saya dijebak." katanya.
Mau tahu siapa yang menjebaknya? Genderuwo atau Sontoloyo?
Tahu kenapa dijebak? Karena gagal lobi ulama kharismatik kah? Mungkin. Tapi kata aparat: karena lelang jabatan.
Semoga sudah kiamat. Besar ya. Kalau kecil, nanti ada lagi tukang ralat lainnya.
Semoga Allah berikan kita semua hidayah dan adil makmur untuk bangsa ini.
Pirman
Pecinta Keluarga Sejati
Tarbawia
Bijak Bermedia, Hati Bahagia
Bergabung Untuk Dapatkan Berita/Artikel Terbaru:
Info Donasi/Iklan:
081391871737 (Telegram)
Advertisement
EmoticonEmoticon