Benarkah polemik istilah kafir dengan non Muslim memengaruhi dan berbahaya secara elektabilitas bagi salah satu atau kedua paslon pada pilpres 2019 mendatang?
Berikut pendapat cerdas pakar media. Baca sampai selesai agar tidak gagal paham.
Bukan Kafir, Tetapi Warga Negara
Bagaimana response warganet terhadap keputusan Munas NU yg menyatakan bahwa Non-Muslim bukan Kafir, tetapi Warga Negara?
Sejak keputusan dibacakan, trend percakapan ttg 'kafir' kemaren naik pesat bahkan sempat jadi trending topic.
Dari peta SNA 'kafir' terlihat jelas sentimen negatif (merah) dari cluster 02. Cluster 01 tidak banyak membicarakan, dan yg ada cenderung positif (hijau) terhadap keputusan Munas NU ini.
Top influencer tentang 'kafir'. Kebanyakan dari cluster 02.Tagar #Kafir dan #Katakafir banyak digunakan, bersamaan dengan tagar milik 02. Narasi yang paling banyak diretweet ttg 'kafir' sebagian besar dari tokoh dan influencer cluster 02. Seperti @haikal_hassan, @Fahrihamzah, @ustadtengkuzul, @Hilmi28, dll. Dari cluster 01 ada @sahaL_AS dan @ulil.
Interaction rate sangat tinggi sebesar 7.61 interaksi per twit. Percakapan ttg 'kafir' sangat natural dan publik banyak menyatakan kesepakatannya atas narasi yg diangkat para influencer.
Narasi yang paling banyak diretweet yg memiliki sentimen negatif terhadap keputusan tsb adalah:
"Gak sekalian ganti surat AlKafirun dg surat AlNonMuslim... Btw, kafir itu menutup diri dari iman kpd Allah SWT dan menolak dari Nabi Muhammad saw... Dan Allah sendiri yg menyebut kata/istilah itu... Alangkah hebat, kini manusia mengintervensi Allah swt...
Ampuni kami Rab" - Haikal Hassan
Di sisi lain, narasi mendukung yang paling banyak diretweet adalah:
"Salah satu keputusan penting dalam Munas NU di Banjar Patroman kali ini adalah: bahwa non-Muslim dlm negara nasional seperti Indonesia, status mereka adalah "muwathin", warga negara. Istilah "kafir dzimmi" tak tepat dilekatkan pada mereka. Salut pada keputusan ini." - Ulil
Di antara dua cluster, akun @cholilnafis menjadi juru tengah atau information arbitrage. Bisa menjadi jembatan bagi kedua kubu. Narasi yang diangkat dan disukai kedua cluster adalah:
"dlm kontek negara Indonesia memang tak relevan menyebut kafir, baik dzimmi apalagi harby ya. dan itu sdh selesai krn Indonesia bukan negara Islam. Tapi kontek agama khususnya aqidah dan syariah, maka selamanya tetap ada sebutan kafir. Tapi kita tak boleh memanggilnya, hai kaafir" - Cholilnafis
Sebetulnya banyak keputusan lain yang bagus, seperti haramnya MLM dan riba dalam Fintech. Namun publik salah fokus oleh poin keputusan terkait kata "kafir" ini.
Mengingat sekarang intensitas politik meningkat menjelang pilpres, akankah soal "kafir" ini bisa berdampak pada aspek elektoral? Misal menjadi alasan untuk tidak mendukung paslon yang didukung NU? Musti diwaspadai atau diantisipasi oleh 01 kemungkinan ini.[Ismail Fahmi]
Tarbawia
Bijak Bermedia, Hati Bahagia
Bergabung Untuk Dapatkan Berita/Artikel Terbaru:
Info Donasi/Iklan:
081391871737 (Telegram)
Advertisement
EmoticonEmoticon