Doa (دعاء) itu satu rumpun kata dengan dakwah (دعوة). Maka biasanya orang Arab, sebelum berpisah satu sama lain, seringkali berucap La tansauna min solihi da'awatikum = Sebut aku dalam doa-doamu. Sebagainana juga sabda Rasulullah SAW: “Ittaqi dakwatal mazhlum fainnahu laisa bainahu wa bainalLahi hijab = Dan takutlah kalian pada doa orang yang terzhalimi. Karena antara dia dan Allah tidak ada penghalang!”
Mayoritas doa yang maurud, ma`tsur, baik dari Qur`an atau pun Hadis, biasanya memakai shighat fi'il amr (perintah). Misal: ighfir li = ampuni aku, hab li = berikan aku, qina = jagalah kami, a'inni = bantu aku, unshurna = tolong kami, ahlik alkafarah = hancurkanlah orang-orang kafir (harbi) dan banyak lagi lainnya.
Jelas ya, bahwa kebanyakan doa itu menggunakan kata perintah. Sampai di sini, apa yang anda pikirkan? Kenapa doa-doa ma`tsur tidak kebanyakan memakai shighat fi'il mudhari', seperti: Nas`ulaKa ridhaKa wal jannah = kami memohon ridhoMu dan surga. Karena kata perintah ini ketika ditujukan kepada Tuhan, walau bentuknya masih perintah, tapi sudah tidak berarti perintah lagi. Melainkan ia sudah berubah menjadi permohonan!
Neno Warisman berujar dalam doanya, “Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan tak menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan, kami khawatir ya Allah, kami khawatir ya Allah, tak ada lagi yang menyembah-Mu.” Apa yang salah dengan doa ini? Tidak ada yang salah! Karena apa yang para pendukung Joko-Ma'ruf sebut sebagai ancaman ini, sejatinya telah berubah menjadi rintihan, jika itu dilantunkan oleh seorang hamba kepada Tuhannya.
Neno Warisman kemungkinan besar terinspirasi oleh doa Rasulullah pada malam Badar. Ketika Baginda berujar: “Ya Allah, tepatilah janjiMu kepadaku. Ya Allah, laksanakan apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau hancurkan ummat (Islam) ini, maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi.”
Pertanyaannya, tepatkah Neno Warisaman meniru doa tersebut? Tergantung, dari sudut pandang mana Anda melihat. Kalau pakai kacamata Kampret, jelas tepat sekali. Tapi kalau pakai kacamata Cebong, ooo... doa tersebut sungguh keterlaluan, kurang ajar, mengintimidasi Tuhan!
Andai Rasulullah Muhammad SAW tidak berdoa apapun, Allah sungguh Maha Kuasa untuk memenangkan pasukan Islam. Tapi doa adalah satu di antara pondasi perjuangan. Berjuang tanpa doa, seperti menggali tanah tanpa cangkul. Mencangkul hanya menggunakan kedua tangan. Tanah berhasil digali, tapi lama sekali. Atau bahkan tak akan pernah bisa digali, tersebab tanahnya teramat liat.
Sehingga karenanya para pejuang dari dulu hingga kini, banyak yang bergetar tubuh mereka dalam sujud-sujud yang panjang. Berderai air mata mereka pada tengandah yang sangat khusyuk. Begitulah yang dilakukan Neno Warisman.
Sekali lagi pertanyaannya, pantaskah Neno Warisman meniru doa Rasulullah untuk urusan Pilpres? Jawabannya, sekali lagi tergantung siapa Anda... Sampean ini Cebong atau Kampret? :-) [Abrar Rifai]
Tarbawia
Bijak Bermedia, Hati Bahagia
Bergabung Untuk Dapatkan Berita/Artikel Terbaru:
Info Donasi/Iklan:
081391871737 (Telegram)
Advertisement
EmoticonEmoticon