Oleh: Asih Widhi Trisnadi
Baru-baru ini terjadi kekerasan dalam dunia olahraga. Mirisnya, tindak kekerasn tersebut dikabarkan diiringi lantunan tauhid oleh para pelaku kejahatannya.
Publik seperti biasa langsung memviralkannya dengan beragam reaksi. Sekelompok orang mencuitkan celaan dengan mengkaitkan perbutan dengan kelompok teroris, sebagian yang lain mencuitkan nasihat tentang dosa besar penyalahgunaan kalimat tauhid.
Fenomena di atas menunjukan bahwa meskipun pesan tersaji dalam intonasi yang berlawanan, namun keduanya saling memperkuat impresi fitnah terhadap kalimat tauhid tersebut.
Karena di kemudian hari, pihak yang berwajib merilis pernyataan bahwa penggunaan kalimat tauhid dalam kejahatan tersebut adalah tidak benar.
Fenomena ini sangat jamak terjadi di media sosial. Fakta yang masih sumir sering disahuti cuitan celaan, atau sahutan nasihat namun malah memperkuat fitnah yang sengaja dilontarkan penyebar hoax.
Semua kita memang telah sepakat memberantas hoax. Negara melalui badan siber nasional pun sudah menyiapkan perangkat hukum untuk mencegah dampak kerusakan penyebaran hoax.
Namun jemari kita tampaknya masih terlalu gatal untuk tidak berkomentar atas potongan video yang berlalu lalang di lini masa. Belum ada moralitas yang memadai untuk membuat kita menahan diri atas pancingan-pancingan keruh pihak yang bertanggung jawab.
Pada tahun 2017, Polri menangani kasus cyber crime atau kejahatan siber yang menunjukan kenaikan 3% dibanding pada 2016, yang berjumlah 4.931 kasus. Kejahatan siber yang ditangani polri sebanyak 3.325 kasus di antaranya merupakan kejahatan hate speech atau ujaran kebencian. Angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 1.829 kasus. Kejahatan hate speech paling banyak di antaranya yang diselesaikan Polri adalah kasus penghinaan sebanyak 1657.(sumber detik.com)
Angka-angka miris di atas menunjukan keberadaan badan pengawas lalu lintas social media belum cukup membendung syahwat netizen untuk menyebarkan hoax.
Memprihatinkan memang. Padahal Islam sebagai agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia sudah menyampaikan kaidah bermedia sosial sejak 14 abad sebelum keberadaannya.
Tabayyun
Tabayyun tidak lagi milik ruang-ruang kajian islami. Perlahan kata tabayyun menggantikan kata “cek dan ricek” di ruang publik. Karena penggunaan kata ini sudah mulai menyusup di ruang talkshow apabila kasus yang dibahas menyangkut masalah hoax.
Sebagaimana tersebut dalam Al-Hujurat ayat 6.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Fungsi tabayyun adalah mencegah musibah dalam suatu komunitas. Kita tentu sama sama tahu berapa banyak kerusuhan horisontal atau kejahatan massal yang diakibatkan berita hoax. Terakhir kejadian amuk masa di suatu desa karena adanya viral hoax tentang pelaku penculikan anak di India. Semua musibah itu muncul karena tidak adanya inisiatif untuk melakukan tabayyun kepada pihak terkait atau institusi yang berwenang.
Diam
Informasi dalam lini masa social media ibarat hujan yang jatuh di atap lalu jatuh di pelimbahan. Bagaimana cara kita untuk memanfaatkan air hujan yang seharusnya bening itu, tidak ada lain dengan mendiamkannya dalam ember sebelum dipergunakan.
Begitupun dalam ber-socmed, atau video-video yang sensitif. Tahanlah jemari untuk tidak komentar. Pastikan dulu jelas hitam putihnya sebelum mengambil kesimpulan.
“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim no. 5).
Sebagai salah satu kaidah yang diperlukan di tahap ini adalah triple test information yang disampaikan Socrates. Ini sangat penting dalam bermedia sosial.
Pertama, kebenaran.
“Apakah Anda yakin bahwa apa yang akan Anda katakan pada saya itu benar?”
“Tidak,” jawab orang itu, “Sebenarnya saya hanya mendengar tentang itu.”
“Baik,” kata Socrates, “jadi Anda tidak yakin itu benar. Baiklah sekarang saya berikan filter yang kedua.
Kedua, kebaikan.
"Apakah yang akan Anda katakan tentang teman saya itu sesuatu yang baik?”
“ Tidak, malah sebaliknya”
“Jadi,” Socrates melanjutkan, “Anda akan menceritakan sesuatu yang buruk tentang dia, tetapi Anda tidak yakin apakah itu benar. Anda masih memiliki satu kesempatan lagi, masih ada satu filter lagi.
Ketiga, kegunaan.
"Apakah yang akan Anda katakan pada saya tentang teman saya itu berguna bagi saya?”
“ Tidak, sama sekali tidak”
“Jadi,” Socrates menyimpulkannya, “bila Anda ingin menceritakan sesuatu yang belum tentu benar, bukan tentang kebaikan, dan bahkan tidak berguna, mengapa Anda harus menceritakan itu kepada saya?”
Oleh karena itu, Gaes jika informasi tersebut belum diketahui kebenarannya, kebaikannya, dan kegunaannya, please jangan like and share! []
Tarbawia
Bijak Bermedia, Hati Bahagia
Bergabung Untuk Dapatkan Berita/Artikel Terbaru:
Info Donasi/Iklan:
085691479667 (WA)
081391871737 (Telegram)
Advertisement
EmoticonEmoticon