Muslimah Mencari Nafkah (ilustrasi) |
Lanjutan dari Muslimah Mencari Nafkah (1)
Dari Fitrah Sampai Iffah
Muslimah bekerja memang tak salah, tapi ia harus memenuhi sejumlah
syarat yang ditetapkan syariat. Syarat yang pertama dan paling utama
adalah izin suami atau orangtua (jika belum menikah). Izin suami ini
seyogianya dimaknai sebagai bentuk kasih sayang, perhatian serta wujud
pertanggungjawaban seorang qawwam dalam rumah tangga. Hal ini tidak
boleh disepelekan karena merupakan prinsip dasar dalam keluarga.
Bila
sang isteri punya hujjah yang kuat, insya Allah suami yang baik akan
berlapang dada memberi kesempatan. Apatah lagi jika misalnya kondisi
suami tidak bisa mencari nafkah karena sakit, jumhur ulama justru
mewajibkan sang isteri untuk berusaha mempertahankan kelangsungan hidup
keluarganya.
Berikutnya, muslimah yang bergiat di ranah publik tidak boleh melupakan
tugasnya di rumah. Sebagai isteri, ia punya kewajiban melayani suami.
Sebagai ibu, ia memiliki tugas mendidik anak menjadi shalih dan
berprestasi. Inilah yang disebut fitrah. Jangan sampai karena mengejar
karier, seorang muslimah tidak mau punya anak karena dianggap menghambat
produktivitasnya.
Tak hanya itu, bila sudah dikaruniai anak, hendaklah
hak-hak anaknya dipenuhi sebaik mungkin termasuk menyusuinya hingga masa
dua tahun hijriyah. Alhamdulillah, saat ini sudah tersedia ruang
laktasi di sejumlah kantor. Para ummahat bisa leluasa memerah ASI untuk
disimpan lalu dikonsumi bayinya keesokan hari dan seterusnya.
Pada malam
hari, sang buah hati bisa disusui langsung hingga terjalin kedekatan
emosi yang akan membentuk kedewasaan psikologis anak nantinya.
Ketika sudah disapih, anakpun harus dipenuhi haknya bermain dan belajar
bersama bunda.
Sedih sekali rasanya jika seorang bunda lulusan S2
membiarkan waktu anaknya habis bersama baby sitter yang tak tamat SMA
sepanjang hari. Bukannya tak boleh, namun setidaknya ibu muslimah yang
shalihah menyediakan quality time bagi penyejuk matanya itu.
Bagi
mereka, didengarkan celotehannya adalah sebuah kebahagiaan yang menjadi
sumber energi melewati hari-hari ke depan.
Saran Abah Ihsan Baihaqi Ibnu
Bukhari dengan program 1821 di mana mulai mukul 18.00 s.d. 21.00 WIB
para orangtua meluangkan waktunya khusus untuk keluarga sangat patut
dicontoh. Selama tiga jam itu, keluarga fokus berinteraksi tanpa gawai
(gadget) dan televisi. Insya Allah, dengan menjaga fitrah akan turun
keberkahan-Nya.
Selanjutnya, para muslimah bekerja hendaklah bersikap iffah alias
menjaga kehormatan. Bagaimana caranya? Sederhana saja. Kenakan busana
yang menutup aurat. Pastikan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan tertutup rapat. Bukan cuma tertutup, sebagaimana disampaikan
Nasiruddin Al-Albani dalam Jilbab Wanita Muslimah, pakaian seorang
perempuan mukminah juga tidak boleh ketat sehingga menampakkan
lekuk-lekuk tubuhnya. Muslimah juga jangan tabarruj dengan memamerkan
perhiasan, dandanan serta wewangian yang berlebihan.
Kita bersyukur di
zaman reformasi ini kaum hawa cukup leluasa menggunakan hijabnya tak
seperti kisah pahit di era Orde Baru seperti dikisahkan Alwi Alatas
dalam Revolusi Jilbab.
Kemudian, muslimah bekerja juga menjaga adab berkomunikasi dengan lawan
jenis. Percakapan yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan sebaiknya
dihindari. Di luar itu, berbicaralah seperlunya saja untuk sekadar
menjaga silaturahim. Kontak mata juga mesti dijaga mengingat ada
anjuran untuk ghaddul bashar atau menundukkan pandangan.
Selain itu,
suara juga tidak boleh dilunakkan, dimerdu-merdukan atau didesahkan.
Hal-hal ini bisa memancing syahwat lelaki yang dapat berujung pelecehan
seksual entah secara verbal atau bahkan di level yang lebih berbahaya.
Na'udzubillah...
Saat iffah ini sudah dijaga, mudah-mudahan izzah (kemuliaan) muslimah
senantiasa terjaga. Tinggal lagi bagaimana muslimah bekerja meluruskan
orientasinya di pekerjaan bahwa itu adalah sarana mengembangkan
kompetensi ilmiah dan menyeru kalimah Allah. Ia juga tidak boleh lupa
punya suami yang sama lelahnya menunggunya di rumah dengan setia untuk
membangun surga bersama.
Biarlah pengagum feminisme merayakan kebebasan
versi mereka hingga melupakan fitrah untuk menikah dan berketurunan.
Biarlah pengejar dunia bergelimangan harta sampai luput merajut takwa di
hatinya. Biarlah Allah saja yang membayar semua keletihan kita yang
tiada habisnya.
“Jangan arahkan sudut pandangmu pada sesuatu yang belum tentu bisa kau
lihat. Itu hanya akan melemparkanmu pada keterasingan di mana rasa
syukur sering hanya sebatas ujung lidah.” (Asma Nadia, Love Sparks In
Korea)
*Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara
Advertisement
EmoticonEmoticon